Judul Buku:
Three Cups of Tea
Penerbit:
Hikmah
Tahun
Terbit: 2008
Penulis:
Greg Mortenson dan David Oliver Relin
Setelah
gagal memenuhi ambisinya mencapai puncak K2, Mortenson terseok-seok menuruni
lereng gunung. Dalam keadaan kehabisan perbekalan dan sakit, dia berharap tiba
di Askole secepatnya untuk memperoleh yang ia perlukan. Namun alih-alih sampai
di Askole, Mortenson ambruk di depan gerbang desa Korphe.
“… (Di Pakistan
dan Afghanistan), kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis; pada cangkir
pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua, engkau teman; dan pada cangkir
ketiga, engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap untuk
berbuat apa pun—bahkan untuk mati.”
Demikian ucap Haji Ali, Kepala Desa Korphe. Kehangatan
seperti inilah yang diberikan oleh suku Balti, suku yang hidup di daerah
terpencil, jauh tersembunyi di kaki gunung K2 kepada George Mortenson. Disana
ia dirawat dengan baik oleh penduduk desa. Maka ketika dia menyaksikan sendiri
bagaimana anak-anak Korphe bersekolah: duduk melingkar, berlutut di tanah yang
membeku, dalam udara dingin, tertib mengerjakan tugasnya, jantungnya serasa
tercerabut.
“Aku akan membangun sebuah sekolah untuk desa ini. Aku berjanji.”
Maka dimulailah perjalanan seorang George Mortenson. Dari
awalnya satu sekolah berdiri demi terpenuhi janji pada penduduk Korphe, lalu
bertambah lagi lima puluh buah sekolah dalam satu dekade di daerah tempat
lahirnya Taliban itu.
Kisah ini bukan sekedar jalan lurus saja. Banyak rintangan
dan masalah yang dihadapi Mortenson. Namun begitu, ia tetap tak patah arang.
Tak peduli meski ia tak punya uang bahkan untuk menghidupi dirinya sendiri;
meski sempat tertawan saat konflik; meski berbeda latar suku, budaya, dan
agamanya. Semua itu tak menghalanginya untuk mewujudkan kepeduliannya pada
anak-anak di Pakistan dan Afghanistan agar mereka mendapat pendidikan yang
layak. Maka Mortenson patut dijadikan inspirasi bagi kita mengenai kepedulian terhadap sesama manusia :).
Membaca buku ini, rasanya benar-benar mengikuti
langkah Mortenson satu per satu dalam perjalanan panjangnya. Butuh total waktu
dua setengah bulan untuk merampungkan buku ini. Saya katakan, buku ini
benar-benar kaya akan inspirasi dan nilai-nilai mulia. Sayangnya, buku ini
tidak dibuka dengan manis oleh penulisnya, sehingga banyak pembaca lain yang
lelah di awal. Begitupun yang saya alami. Bagian awal buku ini, alur campuran
yang digunakan terasa acak dan belepotan sehingga sulit dicerna. Selain itu
juga, kadang-kadang saya menemukan kalimat-kalimat yang strukturnya
menggantung. Namun karena kisahnya sendiri terlampau luar biasa, saya beri empat bintang untuk
buku ini. Lima bintang untuk
kisah Mortenson dan minus satu untuk cara penulisan bukunya :).
3 komentar:
jadi tambah penasaran ama nih buku
Sama deh pendapatnya. Apa yang bikin terus bertahan baca buku ini memang kisahnya yang luar biasa, walau cara penulisannya bikin konsentrasi gampang buyar :) hehe.
@Tezar: ayo baca bukunya..tapi saya saranin harus penuh niat bacanya supaya bisa ngikutin ceritanya sampai akhir :D
@annisa: iya banget.. pas bab-bab awal, saya suka membaca halaman yang sama berkali-kali karena ga nangkep maksud penulisnya. tapi makin lama (untungnya) makin ngalir ceritanya :)
Posting Komentar