Minggu, 22 Januari 2012

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin


Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Gramedia

"Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu...
Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah.Bahwa hidup harus menerima... pengertian yang benar.Bahwa hidup harus memahami... penerimaan yang tulus.Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan." (Tere Liye, 196-197)

Satu lagi karya Tere Liye yang (baru) saya baca. Buku ini dibawakan secara sederhana, tak banyak konflik, tidak menggunakan bahasa langit, namun sukses menyampaikan makna yang dalam kepada para pembacanya. Para tokohnya rasional dalam memainkan perannya masing-masing, tidak absurd dan tidak picisan sehingga saya lebih enjoy dan menghayati kisahnya.

Mengisahkan tokoh Tania, seorang anak jalanan yang ditolong oleh dia, sang malaikat bagi keluarganya. Dikenalkan pada dunia baru, menghabiskan memori bersama, hingga akhirnya Tania tumbuh besar bersama perasaan cinta kepada sang malaikat itu. Namun perasaan tak layak, tak pantas, juga realita bahwa ada seseorang istimewa di samping dia, memaksa Tania untuk membunuh harapan yang timbul dari benih-benih cintanya tersebut.

"Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya."
"Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima."
Hingga akhirnya saat harapan itu berhasil dia enyahkan, ternyata keadaan mereka tidak juga bertambah baik. Bahkan sebaliknya.
***
"...Aku sungguh tak layak mencintainya.. tak pantas menukar semua kebaikan yg kulakukan dengan cintanya.. dia tidak lebih, tidak kurang adik angkatku.. dan hingga kapanpun akan tetap jadi adik angkatku yg periang.. aku sungguh tidak layak mencintainya... maka biarlah kubakar seluruh perasaan.. biarlah seperti daun yang jatuh.. biarlah seperti daun yg jatuh, yg tidak akan pernah membenci angin meski terenggutkan dari tangkainya..." (dari blog Tere Liye, http://darwisdarwis.multiply.com/journal/item/194/daun_yang_jatuh_tidak_pernah_membenci_angin...)
***
Membaca buku ini, saya jadi serem *loh kok?

Ya, karena buku ini mengisahkan dua orang yang sama-sama mencinta, namun juga sama-sama bertepuk sebelah tangan. Tak tergapai, tak tercapai. Betapa dua orang ini berusaha membunuh perasaannya sejak awal dengan rasionya, namun nyatanya cinta tak rasional. Mengakar kuat begitu saja, meski setiap cabang perasaan yang tumbuh dipangkas habis, nyatanya kembali tumbuh kembali dengan cabang yang lebih banyak. Sesuatu yang tidak terkendali inilah yang membuat sakit pada akhirnya. Dia menafikan perasaan itu, merasa baik-baik saja namun tak diduga perasaan itu justru membunuhnya pelan-pelan, menghantarkan rasa hampa tanpa dia sadari.

Jadi maybe pesannya adalah, jangan coba-coba menyepelekan perasaan. Jika ingin ditangani, harus dengan kesadaran tinggi, karena bersikap meremehkan atau memunafikan malah akan membuatnya semakin tidak terkendali dan membuatnya tidak terkalahan #naon haha.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Hmmmmm ceritanya bagus banget...
saya butuh dua kali khatam untuk paham....

Posting Komentar